HUBUNGAN
KETAHANAN PANGAN TINGKAT KELUARGA DAN TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI DENGAN STATUS
GIZI BATITA DI DESA GONDANGWINANGUN TAHUN 2012
ABSTRAK
Kekurangan gizi yang menjadi masalah kesehatan umumnya terjadi pada
balita karena merupakan kelompok rentan gizi. Status gizi dipengaruhi oleh
beberapa faktor diantaranya tingkat kecukupan zat gizi dan ketahanan pangan.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui analisis hubungan ketahanan pangan
tingkat keluarga dan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi batita di
Desa Gondang Winangun, Temanggung. Jenis penelitian ini bersifat Explanatory
Research dengan pendekatan Cross Sectional. Jumlah sampel sebanyak 57 orang
diambil dengan metode purposive sampling dan memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi.
PENDAHULUAN
Masalah
gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia.
Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur tersebut anak
mengalami pertumbuhan yang pesat. Balita termasuk kelompok yang rentan gizi di
suatu kelompok masyarakat di mana masa itu merupakan masa peralihan antara saat
disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa.i Diperkirakan masih
terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang keberadaannya
tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut data
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai 17,2%
dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% per tahun. United Nations Children’s Fund
(UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara
dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan
sebanyak 7,7 juta balita.
Saat
ini Indonesia menduduki peringkat kelima dalam status gizi buruk. Status ini
merupakan akibat instabilitas pangan karena kurangnya nilai gizi dalam konsumsi
balitanya. Status gizi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dibedakan menjadi
faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung meliputi tingkat konsumsi
gizi, penyakit infeksi, dan adanya riwayat Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR).
Sedangkan faktor tidak langsung meliputi ketahanan pangan keluarga, pola asuh,
kesehatan lingkungan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi.
MATERI DAN METODE
Jenis penelitian ini bersifat Explanatory
Research yang bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel-variabel
penelitian dengan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Metode
yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey yang bertujuan untuk
mengumpulkan data dari sejumlah individu mengenai variabel tertentu melalui
kuesiner, serta menggunakan pendekatan cross sectional yaitu suatu
penelitian dimana pengumpulan data variabel bebas dan terikat dilakukan secara
bersama-sama atau sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Populasi penelitian ini
adalah semua batita di Desa Gondang Winangun yaitu sebanyak 155 batita.
Pengambilan sampel dengan purposive sampling dan proporsional random
sampling diperoleh 60 sampel. Data yang dianalisis adalah: a) data
ketahanan pangan tingkat keluarga. b) data tingkat kecukupan energi. c) data
tingkat kecukupan protein. d) data status gizi batita di Desa Gondang Winangun.
Analisis hubungan menggunakan program uji statistik SPSS dengan uji korelasi Rank
Spearman.
HASIL
DAN PEMBAHASAN
A.
Ketahanan Pangan
Berdasarkan
penelitian diperoleh hasil tentang Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga yaitu
sebagian besar sampel penelitian berada dalam keluarga yang tahan pangan
(78,3%), dan selebihnya berada dalam keluarga kurang pangan (21,7%). Informasi
lengkap dapat dilihat dalam table 1. Tingkat ketahanan pangan keluarga
dikelompokkan berdasarkan kemampuan keluarga mencukupi kebutuhan pangannya,
yang tercermin dari ada atau tidaknya kejadian penurunan frekuensi dan ukuran
makan, kejadian kelaparan dan kesulitan pemenuhan makanan. Hasil penelitian
menunjukkan sebanyak 78,3% keluarga di Desa Gondang Winangun tergolong tahan
pangan, yang artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarganya. Hal tersebut
dipengaruhi oleh banyaknya penduduk di Desa Gondang Winangun yang bermata
pencaharian sebagai petani. Banyak diantara mereka yang memperoleh makanan
pokok seperti beras atau sayuran dari produksi sendiri.
Keluarga
yang memiliki sawah atau ladang sendiri dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan
cara produksi sendiri, maka dari segi jarak pun keluarga tersebut tergolong
mudah untuk mendapatkan bahan makanan. Berbeda dengan keluarga yang tidak
mempunyai lahan pertanian, maka keluarga ini harus mencari bahan makanan dan
akan mendapatkannya dengan cara membeli. Jarak tempuh yang jauh untuk
mendapatkan makanan akan menjadi hambatan bagi keluarga untuk memenuhi
kebutuhan pangannya.
B. Tingkat
Kecukupan Energi
Hasil
penelitian menunjukan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi batita di desa
Gondang Winangun adalah 102,5% AKG. Angka tersebut menunjukkan rata-rata
tingkat kecukupan energi batita baik. Sedangkan angka maksimal yang ditunjukkan
adalah 112,58% AKG dan angka minimal adalah 92,73% AKG.
Setiap
orang dalam siklus hidupnya selalu membutuhkan dan mengkonsumsi berbagai jenis makanan.
Nilai yang sangat penting dari bahan makanan atau zat makanan adalah bagi
pertumbuhan dan perkembangan fisik serta perolehan energi untuk melakukan
kegiatan sehari-hari. Penelitian tentang pola konsumsi pangan yang dilakukan
oleh Wora di Timor Tengah juga menunjukkan adanya tingkat kecukupan energi
kurang pada balita sebanyak 13,3%. Bahkan ada 50% diantaranya tergolong defisit
energi. Tingkat kecukupan energi pada kategori defisit dikarenakan kurangnya pengetahuan
dari masyarakat khususnya para ibu tentang kecukupan gizi. Penyediaan makanan
dalam keluarga dilakukan oleh seorang ibu. Apabila pengetahuan ibu tentang
kecukupan gizi kurang, maka banyak diantara mereka yang tidak dapat
memanfaatkan bahan makanan yang bergizi yang berakibat timbulnya gangguan gizi.
Selain itu, rendahnya pendapatan dan banyaknya anggota keluarga juga menjadi
pemicu kurangnya penyediaan makan bagi anggota keluarga yang mempengaruhi
tingkat konsumsi energi.
C. Tingkat
Kecukupan Protein
Dari
hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata tingkat kecukupan protein batita di
Desa Gondang Winangun adalah 86,55% AKG. Hal tersebut sama artinya dengan
rata-rata tingkat kecukupan protein sampel baik. Nilai maksimal yang diperoleh
adalah 101,6% AKG dan nilai minimal yaitu 71,88% AKG. Informasi tentang
distribusi tingkat kecukupan protein sampel pada penelitian dapat dilihat pada
tabel 3.
D.
Status Gizi Batita
Gambaran
distribusi frekuensi sampel berdasarkan status gizi batita dapat dilihat dalam
tabel 4.Data dalam tabel 4. diketahui bahwa sebanyak (61,7%) sampel memiliki
status gizi baik. Persentase terendah (6,7%) menunjukkan sampel dengan status
gizi lebih (>+2 SD), sedangkan sampel yang status gizinya kurang, yaitu
antara <-2 SD s/d -3 SD diketahui sebesar (31,7%).
Status
gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi
yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Gizi
yang cukup dapat memperbaiki ketahanan tubuh, sehingga tubuh akan terhindar
dari berbagi penyakit. Status gizi dapat membatu mendeteksi lebih dini resiko terjadinya
masalah kesehatan.
E.
Hubungan Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga dengan Tingkat Kecukupan Energi
Hasil
uji statistik menunjukkan bahwa p = 0,826 (p > 0,05), maka Ho diterima dan
Ha ditolak. Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara
ketahanan pangan tingkat keluarga dengan tingkat kecukupan energi.
Hasil
uji statistik penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara ketahanan pangan
tingkat keluarga dengan tingkat kecukupan energi. Tidak adanya hubungan antara
ketahanan pangan tingkat keluarga dengan tingkat kecukupan energi ini
kemungkinan dikarenakan adanya batita dalam keluarga yang kurang pangan
mendapatkan bantuan makan atau asupan energi dari orang lain. Sehingga meskipun
berasal dari keluarga kurang pangan tetapi batita tersebut tetap tercukupi
kebutuhan energinya. Sebanyak 6 (10%) keluarga mengatakan sering mendapatkan
makanan pokok berupa beras dari pemberian orang lain. Namun prioritas pemberian
makanan adalah bagi batita, sehingga meskipun keluarga tergolong kurang pangan,
kebutuhan makanan atau energi batita masih dapat tercukupi.
F.
Hubungan Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga dengan Tingkat Kecukupan Protein
Berdasarkan
hasil uji statitik diketahui bahwa bersar p = 0,016 (p < 0,05). Hal ini
berarti Ha diterima dan Ho ditolak, maka menunjukkan adanya hubungan kedua
variabel yaitu antara tingkat kecukupan protein dan ketahanan pangan tingkat
kelurga. Koefisien korelasi menunjukkan angka r = 0,310, maka artinya hubungan
antara kedua variabel tersebut lemah. Arah hubungan kedua variabel adalah
positif, sama artinya dengan semakin baik ketahanan pangan tingkat keluarga
maka tingkat kecukupan protein juga semakin baik dan sebaliknya.
Berdasarkan
hasil penelitian diketahui ada hubungan yang bermakna antara ketahanan pangan
tingkat keluarga dengan tingkat konsumsi protein. Ada kecenderungan keluarga
yang tahan pangan maka kebutuhan protein batitanya dapat terpenuhi. Hasil uji
statistik menunjukkan bahwa arah hubungan ketahanan pangan tingkat keluarga
dengan tingkat konsumsi protein adalah positif. Kekuatan hubungan kedua
variabel tersebut lemah. Ketahanan pangan tingkat keluarga akan mendukung
tingkat konsumsi protein. Semakin baik ketahanan pangan keluarga maka tingkat
konsumsi protein juga akan membaik. Keluarga tahan pangan tentunya mampu
menyediakan makanan bagi setiap anggota keluarganya. Maka bila persediaan makan
cukup, keluarga juga mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Hal ini didukung dengan
data bahwa 83,7% keluarga yang tahan pangan memiliki batita dengan tingkat
kecukupan protein yang baik.
G.
Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Status Gizi Batita
Berdasarkan
hasil uji statistik menggunakan Korelasi Rank Spearman pada, didapatkan nilai p
= 0,720 (p > 0,05). Hal ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Sehingga
dapat ditaril kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat
kecukupan energi dengan status gizi batita. Energi diukur dalam satuan kilo
kalori. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram, lemak 9
kkal/gram dan karbohidrat 4 kkal/gram.iv Tidak adanya hubungan antara kedua
variabel tersebut dapat pula disebabkan oleh bias ketika melakukan recall konsumsi
makanan. Keterbatasan responden dalam mengingat makanan yang dikonsumsi
menyebabkan bias dalam tingkat kecukupan energi. Faktor yang mempengaruhi
status gizi secara langsung selain tingkat kecukupan gizi adalah pola asuh
terhadap batita. Kegiatan yang dilakukan oleh batita juga menjadi faktor dalam
menentukan status gizi batita. Batita yang aktiv tentu saja memiliki kebutuhan
energi yang berbeda dengan batita yang tidak banyak melakukan kegiatan. Energi lebih
banyak dibutuhkan bagi batita dengan kegiatan yang aktiv, seperti senang
berlarian, memanjat, atau kegiatan lain. Asupan energi yang sedang dengan
kegiatan yang aktiv oleh batita tentu belum mampu meningkatkan status gizi
batita yang ditinjau dari berat badan menurut umurnya.
H.
Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan Status Gizi Batita
Hasil
uji statistik Korelasi Rank Spearman antara tingkat kecukupan protein dan
status gizi batita diperoleh p = 0,004 (p <0,05), maka Ha diterima. Hal
tersebut berarti antara kedua variabel memiliki hubungan yang bermakna. Koefisien
korelasi yang bernilai 0,363 menggambarkan korelasi atau hubungan kedua
variabel tersebut lemah. Arah hubungan yang ditunjukkan adalah positif yang
artinya apabila tingkat kecukupani protein sebakin tinggi maka status gizi
batita pun akan semakin tinggi (baik), demikian pula sebaliknya.
Konsumsi
protein sangat penting untuk pembangun dan perbaikan sel-sel dan jaringan.
Apabila konsumsi protein terpenuhi maka tubuh juga dapat memperbaiki sel-sel
dan jaringan dengan baik. Sehingga bila tubuh dalam kondisi yang sehat, status
gizi pun akan normal atau baik. Berat badan erat hubungannya dengan kecukupan
protein. Berat badan sangat mempengaruhi status gizi balita. Oleh karena itu
protein sangat diperlukan tubuh untuk meningkatkan berat badan dan meningkatkan
status gizi.
I.
Hubungan Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga dengan Status Gizi Batita
Berdasarkan
hasil uji statistik dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman diperoleh
nilai p = 0,001 (p<0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya ada
hubungan atau korelasi antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan status
gizi batita. Arah hubungan kedua variabel tersebut adalah positif ( = 0,421).
Kekuatan hubungan yang ditunjukkan oleh nilai r tersebut berarti hubungan
antara kedua variabel lemah.
Berdasarkan
penelitian yang dilakukan diketahui adanya hubungan antara ketahanan pangan
tingkat keluarga dengan status gizi batita yang dibuktikan dengan hasil uji
statistik. Uji statistik tersebut menunjukkan hubungan atau korelasi positif,
yang artinya ketahanan pangan dan status gizi berjalan beriringan. Bila
ketahanan pangan meningkat maka status gizi batita pun akan meningkat, begitu
pula sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 89,2% keluarga yang
tahan pangan memiliki batita dengan status gizi baik. Kondisi ketahanan pangan
keluarga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang dapat mencukupi kebutuhan
anggota keluarganya berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi dan secara
tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap status gizi. Bila ketahanan
pangan keluarga baik, yang artinya ketersediaan pangan mampu mencukupi
kebutuhan anggota keluarga terutama batita maka tingkat konsumsi pun juga akan
baik. Tingkat konsumsi dikatakan baik apabila memenui kebutuhan sesuai angka
kecukupan dan tidak ada perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan
frekuensi dan ukuran makan. Bila kedua hal tersebut terpenuhi maka dapat
dipastikan bahwa status gizinya pun akan baik. Banyaknya responden yang bermata
pencaharian sebagai petani tentunya mempermudah keluarga untuk meyediakan
makanan dari hasil produksi sendiri. Produksi pertanian yang biasa dipanen
antara lain beras, jagung, singkong, dan berbagai jenis sayuran. Produksi
pertanian ini tentunya meningkatkan ketahanan pangan dalam keluarga, karena
mempermudah akses keluarga dalam menyediakan pangan bagi anggota keluarga.
Pemeliharaan hewan ternak untuk dikonsumsi seperti ayam, itik atau kambing juga
mempermudah keluarga dalam memperoleh makanan sumber protein.
Dalam
kerangka UNICEF digambarkan tahapan timbulnya masslah gizi kurang anak balita.
Kerangka tersebut memberikan informasi tentang penyebab langsung maupun
penyebab tidak langsung terjadinya gizi kurang pada balita. Salah satu penyebab
tidak langsungnya adalah ketahanan pangan. Sejalan dengan kerangka pikir
UNICEF, Soblia juga mengungkapkan bahwa terdapat dua faktor yang terkait
langsung dengan masalah gizi terutama gizi kurang, yaitu asupan makanan dan
infeksi penyakit. Kedua faktor tersebut terkait dengan faktor tidak langsung yaitu
ketahanan pangan.
SIMPULAN
1. Sebagian besar (78,3%)
keluarga di Desa Gondang Winangun tergolong tahan pangan.
2. Tingkat kecukupan energi pada
batita di Desa Gondang Winangun sebagian besar (65%) adalah baik (100-105%AKG).
3. Tingkat kecukupan protein pada
batita di Desa Gondang Winangun dengan persentase terbesar (81,7%) adalah baik
yaitu 80-100%AKG .
4. Sebagian besar batita (61,7%)
di Desa Gondang Winangun memiliki Status gizi baik (2 SD s/d +2 SD).
5.
Tidak ada hubungan yang bermakna antara ketahanan pangan tingkat keluarga
dengan tingkat kecukupan energi batita (p=0,826; r=0,029).
Mau lihat file asli klik disini
Tidak ada komentar:
Posting Komentar