CSE

Loading

Senin, 06 Januari 2014

JURNAL TENTANG GIZI



HUBUNGAN KETAHANAN PANGAN TINGKAT KELUARGA DAN TINGKAT KECUKUPAN ZAT GIZI DENGAN STATUS GIZI BATITA DI DESA GONDANGWINANGUN TAHUN 2012

ABSTRAK
Kekurangan gizi yang menjadi masalah kesehatan umumnya terjadi pada balita karena merupakan kelompok rentan gizi. Status gizi dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya tingkat kecukupan zat gizi dan ketahanan pangan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui analisis hubungan ketahanan pangan tingkat keluarga dan tingkat kecukupan zat gizi dengan status gizi batita di Desa Gondang Winangun, Temanggung. Jenis penelitian ini bersifat Explanatory Research dengan pendekatan Cross Sectional. Jumlah sampel sebanyak 57 orang diambil dengan metode purposive sampling dan memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi.
PENDAHULUAN
            Masalah gizi masih merupakan masalah kesehatan masyarakat utama di Indonesia. Kekurangan gizi pada umumnya terjadi pada balita karena pada umur tersebut anak mengalami pertumbuhan yang pesat. Balita termasuk kelompok yang rentan gizi di suatu kelompok masyarakat di mana masa itu merupakan masa peralihan antara saat disapih dan mulai mengikuti pola makan orang dewasa.i Diperkirakan masih terdapat sekitar 1,7 juta balita terancam gizi buruk yang keberadaannya tersebar di pelosok-pelosok Indonesia. Jumlah balita di Indonesia menurut data Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tahun 2007 mencapai 17,2% dengan laju pertumbuhan penduduk 2,7% per tahun. United Nations Children’s Fund (UNICEF) melaporkan Indonesia berada di peringkat kelima dunia untuk negara dengan jumlah anak yang terhambat pertumbuhannya paling besar dengan perkiraan sebanyak 7,7 juta balita.
Saat ini Indonesia menduduki peringkat kelima dalam status gizi buruk. Status ini merupakan akibat instabilitas pangan karena kurangnya nilai gizi dalam konsumsi balitanya. Status gizi balita dipengaruhi oleh beberapa faktor yang dibedakan menjadi faktor langsung dan tidak langsung. Faktor langsung meliputi tingkat konsumsi gizi, penyakit infeksi, dan adanya riwayat Bayi Berat Lahir Rendah (BBLR). Sedangkan faktor tidak langsung meliputi ketahanan pangan keluarga, pola asuh, kesehatan lingkungan, tingkat pendidikan, dan kondisi ekonomi.
MATERI DAN METODE
Jenis penelitian ini bersifat Explanatory Research yang bertujuan untuk mengetahui hubungan variabel-variabel penelitian dengan menguji hipotesis yang telah dirumuskan sebelumnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey yang bertujuan untuk mengumpulkan data dari sejumlah individu mengenai variabel tertentu melalui kuesiner, serta menggunakan pendekatan cross sectional yaitu suatu penelitian dimana pengumpulan data variabel bebas dan terikat dilakukan secara bersama-sama atau sekaligus dalam waktu yang bersamaan. Populasi penelitian ini adalah semua batita di Desa Gondang Winangun yaitu sebanyak 155 batita. Pengambilan sampel dengan purposive sampling dan proporsional random sampling diperoleh 60 sampel. Data yang dianalisis adalah: a) data ketahanan pangan tingkat keluarga. b) data tingkat kecukupan energi. c) data tingkat kecukupan protein. d) data status gizi batita di Desa Gondang Winangun. Analisis hubungan menggunakan program uji statistik SPSS dengan uji korelasi Rank Spearman.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Ketahanan Pangan

Berdasarkan penelitian diperoleh hasil tentang Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga yaitu sebagian besar sampel penelitian berada dalam keluarga yang tahan pangan (78,3%), dan selebihnya berada dalam keluarga kurang pangan (21,7%). Informasi lengkap dapat dilihat dalam table 1. Tingkat ketahanan pangan keluarga dikelompokkan berdasarkan kemampuan keluarga mencukupi kebutuhan pangannya, yang tercermin dari ada atau tidaknya kejadian penurunan frekuensi dan ukuran makan, kejadian kelaparan dan kesulitan pemenuhan makanan. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 78,3% keluarga di Desa Gondang Winangun tergolong tahan pangan, yang artinya mampu mencukupi kebutuhan pangan keluarganya. Hal tersebut dipengaruhi oleh banyaknya penduduk di Desa Gondang Winangun yang bermata pencaharian sebagai petani. Banyak diantara mereka yang memperoleh makanan pokok seperti beras atau sayuran dari produksi sendiri.
Keluarga yang memiliki sawah atau ladang sendiri dapat memenuhi kebutuhan pangan dengan cara produksi sendiri, maka dari segi jarak pun keluarga tersebut tergolong mudah untuk mendapatkan bahan makanan. Berbeda dengan keluarga yang tidak mempunyai lahan pertanian, maka keluarga ini harus mencari bahan makanan dan akan mendapatkannya dengan cara membeli. Jarak tempuh yang jauh untuk mendapatkan makanan akan menjadi hambatan bagi keluarga untuk memenuhi kebutuhan pangannya.

B. Tingkat Kecukupan Energi
Hasil penelitian menunjukan bahwa rata-rata tingkat kecukupan energi batita di desa Gondang Winangun adalah 102,5% AKG. Angka tersebut menunjukkan rata-rata tingkat kecukupan energi batita baik. Sedangkan angka maksimal yang ditunjukkan adalah 112,58% AKG dan angka minimal adalah 92,73% AKG.
Setiap orang dalam siklus hidupnya selalu membutuhkan dan mengkonsumsi berbagai jenis makanan. Nilai yang sangat penting dari bahan makanan atau zat makanan adalah bagi pertumbuhan dan perkembangan fisik serta perolehan energi untuk melakukan kegiatan sehari-hari. Penelitian tentang pola konsumsi pangan yang dilakukan oleh Wora di Timor Tengah juga menunjukkan adanya tingkat kecukupan energi kurang pada balita sebanyak 13,3%. Bahkan ada 50% diantaranya tergolong defisit energi. Tingkat kecukupan energi pada kategori defisit dikarenakan kurangnya pengetahuan dari masyarakat khususnya para ibu tentang kecukupan gizi. Penyediaan makanan dalam keluarga dilakukan oleh seorang ibu. Apabila pengetahuan ibu tentang kecukupan gizi kurang, maka banyak diantara mereka yang tidak dapat memanfaatkan bahan makanan yang bergizi yang berakibat timbulnya gangguan gizi. Selain itu, rendahnya pendapatan dan banyaknya anggota keluarga juga menjadi pemicu kurangnya penyediaan makan bagi anggota keluarga yang mempengaruhi tingkat konsumsi energi.

C. Tingkat Kecukupan Protein
Dari hasil penelitian diketahui bahwa rata-rata tingkat kecukupan protein batita di Desa Gondang Winangun adalah 86,55% AKG. Hal tersebut sama artinya dengan rata-rata tingkat kecukupan protein sampel baik. Nilai maksimal yang diperoleh adalah 101,6% AKG dan nilai minimal yaitu 71,88% AKG. Informasi tentang distribusi tingkat kecukupan protein sampel pada penelitian dapat dilihat pada tabel 3.

D. Status Gizi Batita
Gambaran distribusi frekuensi sampel berdasarkan status gizi batita dapat dilihat dalam tabel 4.Data dalam tabel 4. diketahui bahwa sebanyak (61,7%) sampel memiliki status gizi baik. Persentase terendah (6,7%) menunjukkan sampel dengan status gizi lebih (>+2 SD), sedangkan sampel yang status gizinya kurang, yaitu antara <-2 SD s/d -3 SD diketahui sebesar (31,7%).
Status gizi merupakan indikator dalam menentukan derajat kesehatan anak. Status gizi yang baik dapat membantu proses pertumbuhan dan perkembangan yang optimal. Gizi yang cukup dapat memperbaiki ketahanan tubuh, sehingga tubuh akan terhindar dari berbagi penyakit. Status gizi dapat membatu mendeteksi lebih dini resiko terjadinya masalah kesehatan.

E. Hubungan Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga dengan Tingkat Kecukupan Energi
Hasil uji statistik menunjukkan bahwa p = 0,826 (p > 0,05), maka Ho diterima dan Ha ditolak. Hal ini menunjukkan tidak adanya hubungan yang bermakna antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan tingkat kecukupan energi.
Hasil uji statistik penelitian menunjukkan tidak ada hubungan antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan tingkat kecukupan energi. Tidak adanya hubungan antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan tingkat kecukupan energi ini kemungkinan dikarenakan adanya batita dalam keluarga yang kurang pangan mendapatkan bantuan makan atau asupan energi dari orang lain. Sehingga meskipun berasal dari keluarga kurang pangan tetapi batita tersebut tetap tercukupi kebutuhan energinya. Sebanyak 6 (10%) keluarga mengatakan sering mendapatkan makanan pokok berupa beras dari pemberian orang lain. Namun prioritas pemberian makanan adalah bagi batita, sehingga meskipun keluarga tergolong kurang pangan, kebutuhan makanan atau energi batita masih dapat tercukupi.

F. Hubungan Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga dengan Tingkat Kecukupan Protein
Berdasarkan hasil uji statitik diketahui bahwa bersar p = 0,016 (p < 0,05). Hal ini berarti Ha diterima dan Ho ditolak, maka menunjukkan adanya hubungan kedua variabel yaitu antara tingkat kecukupan protein dan ketahanan pangan tingkat kelurga. Koefisien korelasi menunjukkan angka r = 0,310, maka artinya hubungan antara kedua variabel tersebut lemah. Arah hubungan kedua variabel adalah positif, sama artinya dengan semakin baik ketahanan pangan tingkat keluarga maka tingkat kecukupan protein juga semakin baik dan sebaliknya.
Berdasarkan hasil penelitian diketahui ada hubungan yang bermakna antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan tingkat konsumsi protein. Ada kecenderungan keluarga yang tahan pangan maka kebutuhan protein batitanya dapat terpenuhi. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa arah hubungan ketahanan pangan tingkat keluarga dengan tingkat konsumsi protein adalah positif. Kekuatan hubungan kedua variabel tersebut lemah. Ketahanan pangan tingkat keluarga akan mendukung tingkat konsumsi protein. Semakin baik ketahanan pangan keluarga maka tingkat konsumsi protein juga akan membaik. Keluarga tahan pangan tentunya mampu menyediakan makanan bagi setiap anggota keluarganya. Maka bila persediaan makan cukup, keluarga juga mampu memenuhi kebutuhan gizinya. Hal ini didukung dengan data bahwa 83,7% keluarga yang tahan pangan memiliki batita dengan tingkat kecukupan protein yang baik.

G. Hubungan Tingkat Kecukupan Energi dengan Status Gizi Batita
Berdasarkan hasil uji statistik menggunakan Korelasi Rank Spearman pada, didapatkan nilai p = 0,720 (p > 0,05). Hal ini berarti Ho diterima dan Ha ditolak. Sehingga dapat ditaril kesimpulan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna antara tingkat kecukupan energi dengan status gizi batita. Energi diukur dalam satuan kilo kalori. Energi yang berasal dari protein menghasilkan 4 kkal/gram, lemak 9 kkal/gram dan karbohidrat 4 kkal/gram.iv Tidak adanya hubungan antara kedua variabel tersebut dapat pula disebabkan oleh bias ketika melakukan recall konsumsi makanan. Keterbatasan responden dalam mengingat makanan yang dikonsumsi menyebabkan bias dalam tingkat kecukupan energi. Faktor yang mempengaruhi status gizi secara langsung selain tingkat kecukupan gizi adalah pola asuh terhadap batita. Kegiatan yang dilakukan oleh batita juga menjadi faktor dalam menentukan status gizi batita. Batita yang aktiv tentu saja memiliki kebutuhan energi yang berbeda dengan batita yang tidak banyak melakukan kegiatan. Energi lebih banyak dibutuhkan bagi batita dengan kegiatan yang aktiv, seperti senang berlarian, memanjat, atau kegiatan lain. Asupan energi yang sedang dengan kegiatan yang aktiv oleh batita tentu belum mampu meningkatkan status gizi batita yang ditinjau dari berat badan menurut umurnya.

H. Hubungan Tingkat Kecukupan Protein dengan Status Gizi Batita
Hasil uji statistik Korelasi Rank Spearman antara tingkat kecukupan protein dan status gizi batita diperoleh p = 0,004 (p <0,05), maka Ha diterima. Hal tersebut berarti antara kedua variabel memiliki hubungan yang bermakna. Koefisien korelasi yang bernilai 0,363 menggambarkan korelasi atau hubungan kedua variabel tersebut lemah. Arah hubungan yang ditunjukkan adalah positif yang artinya apabila tingkat kecukupani protein sebakin tinggi maka status gizi batita pun akan semakin tinggi (baik), demikian pula sebaliknya.
Konsumsi protein sangat penting untuk pembangun dan perbaikan sel-sel dan jaringan. Apabila konsumsi protein terpenuhi maka tubuh juga dapat memperbaiki sel-sel dan jaringan dengan baik. Sehingga bila tubuh dalam kondisi yang sehat, status gizi pun akan normal atau baik. Berat badan erat hubungannya dengan kecukupan protein. Berat badan sangat mempengaruhi status gizi balita. Oleh karena itu protein sangat diperlukan tubuh untuk meningkatkan berat badan dan meningkatkan status gizi.

I. Hubungan Ketahanan Pangan Tingkat Keluarga dengan Status Gizi Batita
Berdasarkan hasil uji statistik dengan menggunakan Korelasi Rank Spearman diperoleh nilai p = 0,001 (p<0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima yang artinya ada hubungan atau korelasi antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan status gizi batita. Arah hubungan kedua variabel tersebut adalah positif ( = 0,421). Kekuatan hubungan yang ditunjukkan oleh nilai r tersebut berarti hubungan antara kedua variabel lemah.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan diketahui adanya hubungan antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan status gizi batita yang dibuktikan dengan hasil uji statistik. Uji statistik tersebut menunjukkan hubungan atau korelasi positif, yang artinya ketahanan pangan dan status gizi berjalan beriringan. Bila ketahanan pangan meningkat maka status gizi batita pun akan meningkat, begitu pula sebaliknya. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 89,2% keluarga yang tahan pangan memiliki batita dengan status gizi baik. Kondisi ketahanan pangan keluarga yang tercermin dari ketersediaan pangan yang dapat mencukupi kebutuhan anggota keluarganya berpengaruh positif terhadap tingkat konsumsi dan secara tidak langsung juga akan berpengaruh terhadap status gizi. Bila ketahanan pangan keluarga baik, yang artinya ketersediaan pangan mampu mencukupi kebutuhan anggota keluarga terutama batita maka tingkat konsumsi pun juga akan baik. Tingkat konsumsi dikatakan baik apabila memenui kebutuhan sesuai angka kecukupan dan tidak ada perubahan konsumsi pangan yang mengarah pada penurunan frekuensi dan ukuran makan. Bila kedua hal tersebut terpenuhi maka dapat dipastikan bahwa status gizinya pun akan baik. Banyaknya responden yang bermata pencaharian sebagai petani tentunya mempermudah keluarga untuk meyediakan makanan dari hasil produksi sendiri. Produksi pertanian yang biasa dipanen antara lain beras, jagung, singkong, dan berbagai jenis sayuran. Produksi pertanian ini tentunya meningkatkan ketahanan pangan dalam keluarga, karena mempermudah akses keluarga dalam menyediakan pangan bagi anggota keluarga. Pemeliharaan hewan ternak untuk dikonsumsi seperti ayam, itik atau kambing juga mempermudah keluarga dalam memperoleh makanan sumber protein.
Dalam kerangka UNICEF digambarkan tahapan timbulnya masslah gizi kurang anak balita. Kerangka tersebut memberikan informasi tentang penyebab langsung maupun penyebab tidak langsung terjadinya gizi kurang pada balita. Salah satu penyebab tidak langsungnya adalah ketahanan pangan. Sejalan dengan kerangka pikir UNICEF, Soblia juga mengungkapkan bahwa terdapat dua faktor yang terkait langsung dengan masalah gizi terutama gizi kurang, yaitu asupan makanan dan infeksi penyakit. Kedua faktor tersebut terkait dengan faktor tidak langsung yaitu ketahanan pangan.


SIMPULAN

1. Sebagian besar (78,3%) keluarga di Desa Gondang Winangun tergolong tahan pangan.
2. Tingkat kecukupan energi pada batita di Desa Gondang Winangun sebagian besar (65%) adalah baik (100-105%AKG).
3. Tingkat kecukupan protein pada batita di Desa Gondang Winangun dengan persentase terbesar (81,7%) adalah baik yaitu 80-100%AKG .
4. Sebagian besar batita (61,7%) di Desa Gondang Winangun memiliki Status gizi baik (2 SD s/d +2 SD).
5. Tidak ada hubungan yang bermakna antara ketahanan pangan tingkat keluarga dengan tingkat kecukupan energi batita (p=0,826; r=0,029).


 Mau lihat file asli klik disini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar